Postingan saya ini bisa dikatakan terlambat, tetapi tidak apalah. Gunung Raung atau Gunung Rawon merupakan gunung terbesar di pulau jawa dan salah satu gunung tertinggi setelah gunung semeru.
Gunung Raung mulai menunjukkan peningkatan aktivitas sejak 17 oktober 2012. dan pada 22 Oktober 2012 statusnya naik menjadi SIAGA LEVEL III.
Daerah rawan bencana erupsi Gunung raung meliputi Kec. Kalibaru, Kec. Sempu, Kec. Songgo, Kec. Glenmore, Kec. Genteng ( Wilayah Kab. Banyuwangi). Kec. Sumber Wringin dan Kec. Sukosari ( Wilayah Kab. Bondowoso) Kec. Sumber Jambe ( Wilayah Kabupaten Jember ).
Bahaya yang ditimbulkan jika terjadi erupsi Gunung Raung adalah awan panas, pijar lava, banjir lahar, hujan abu, dan lontaran batu.
Gunung Raung, menurut Surono, mempunyai sejarah letusan dahsyat sehingga perlu diwaspadai. Letusan Raung pada 1953 menyebarkan hujan abu dalam radius 200 km. Raung juga melontarkan material berupa pasir dan batu panas setinggi 12 km pada 1958. Untuk memperkuat pemantauan Raung, PVMBG menambah empat alat pantau, yakni dua global positioning system (GPS) dan seismobroadband.
”Debris avalanches”
Berdasarkan Data Dasar Gunung Api Indonesia (2011), Raung tercatat meletus pertama kali pada 1586. Disebutkan, letusan tahun itu sangat dahsyat dan menimbulkan korban jiwa. Namun, tidak disebutkan berapa banyak korbannya.
Pada 1638, Raung kembali meletus hebat disertai banjir besar dan aliran lahar melanda Kali Stail dan Kali Klatak. Korban jiwa mencapai ribuan orang. Saat itu, di kawasan tersebut berdiri Kerajaan Macan Putih di bawah Pangeran Tawangulun. Hingga 1989, terjadi 43 letusan di Gunung Raung.
Geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, mengatakan, Raung memiliki jejak debris avalanches, bahaya lain dari gunung api selain awan panas dan banjir lahar hujan, sebagaimana terjadi di Gunung Galunggung, Jawa Barat. Debris avalanches merupakan produk dari longsornya sebagian tubuh gunung api, terutama karena aktivitas magmatik. Sumbat yang terlalu kuat di puncak gunung menyebabkan magma menjebol sisi lemah di lereng gunung dan melontarkan hingga jauh, membentuk sekelompok bukit kecil (hillocks).
Debris avalanches tak mesti terkait erupsi. Hujan deras atau gempa regional juga dapat memicu longsoran raksasa di lereng gunung api. ”Debris avalanches di Raung karena erupsi yang eksplosif seperti terjadi di Galunggung dan letusan St Hellen, AS, pada 1980,” kata Indyo.
Debris avalanches di Raung yang mencapai 78 km dari kawah merupakan yang terbesar di Indonesia. ”Kalau longsorannya karena hujan atau erupsi freatik, biasanya tak terlalu jauh jangkauannya, seperti Gunung Papandayan,” katanya.
Indyo juga mengatakan, Gunung Raung merupakan bagian dari sistem kaldera raksasa purba. ”Raung berada di pinggir dari sistem kaldera ini,” katanya. Selain Raung, beberapa gunung api aktif lain yang juga berada di pinggir sistem kaldera ini adalah Ijen, Merapi, dan Meranti. ”Sayangnya, pengetahuan kita tentang kawasan kaldera ini masih sedikit,” katanya. ”Namun, melihat karakter gunungnya, letusannya pada masa lalu pasti hebat.”
Mengubur peradaban
Kehebatan letusan Raung pada masa lalu dicatat oleh Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, letusan Raung pada abad ke-18 menyebabkan sisa peradaban Kerajaan Blambangan di Macan Putih, Kabupaten Banyuwangi, dan di Kedawung, Kabupaten Jember, ikut terkubur.
”Peninggalan kerajaan diperkirakan terkubur oleh abu vulkanik Raung dari dua kali letusan. Pada 2010 kami menemukan fondasi bangunan kerajaan, gerabah, tombak, keramik, uang receh, dan sebagainya, terpendam sedalam 1,5 meter di Desa Macan Putih. Hingga kini masih banyak yang belum digali,” kata penulis buku Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan 1763-1813 itu.
Di antara deretan gunung yang mengelilingi Banyuwangi, yakni Ijen, Merapi, Meranti, dan Raung, Gunung Raung merupakan gunung yang paling dianggap sakral oleh masyarakat Banyuwangi pada masa lalu, dibandingkan Ijen, Merapi, dan Meranti.
Menurut Margana, para penguasa di kerajaan pra-Kerajaan Blambangan sudah menjadikan Gunung Raung sebagai pusat pemujaan. Salah satu indikasinya, ditemukan sejumlah peninggalan tempat persembahyangan umat Hindu yang diperkirakan dibangun pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Di antaranya ada di Kecamatan Songgon dan Sempu, Banyuwangi.
Petilasan di Desa Jambewangi, Kecamatan Banyuwangi, misalnya, hingga kini masih ada dan dirawat oleh warga setempat. Petilasan itu berbentuk tumpukan batu dan berlingga menghadap ke Gunung Raung. Petilasan tersebut kini masih digunakan oleh warga Hindu untuk bersembahyang.
Ingatan yang terputus
Riwayat mengerikan Raung pada masa lalu tidak lagi dimengerti secara utuh oleh warga yang hidup di kaki gunung ini. Warga di Kecamatan Songgon, Banyuwangi, yang berada 14 km dari Gunung Raung memang resah karena mencium bau belerang dan mendengar suara gemuruh dari Raung sejak beberapa hari terakhir.
Rosan (56), warga Desa Jajangan, Kecamatan Songgon, mengepak sebagian pakaiannya sejak pekan lalu. Proses belajar-mengajar di SD di Kecamatan Songgon pun terganggu karena orangtua khawatir melepas anak-anak mereka ke sekolah.
Meski khawatir, sebagian besar warga masih bekerja di ladang. Sebagian dari mereka memetik selada, mencari rumput, kayu bakar, atau memanen cengkeh. Warga saat ini tidak mewarisi ingatan Raung yang mematikan, tetapi jejak Raung yang mematikan tidak boleh diabaikan.
Sumber : Kompas.com
Gunung Raung mulai menunjukkan peningkatan aktivitas sejak 17 oktober 2012. dan pada 22 Oktober 2012 statusnya naik menjadi SIAGA LEVEL III.
Daerah rawan bencana erupsi Gunung raung meliputi Kec. Kalibaru, Kec. Sempu, Kec. Songgo, Kec. Glenmore, Kec. Genteng ( Wilayah Kab. Banyuwangi). Kec. Sumber Wringin dan Kec. Sukosari ( Wilayah Kab. Bondowoso) Kec. Sumber Jambe ( Wilayah Kabupaten Jember ).
Bahaya yang ditimbulkan jika terjadi erupsi Gunung Raung adalah awan panas, pijar lava, banjir lahar, hujan abu, dan lontaran batu.
Gunung Raung, menurut Surono, mempunyai sejarah letusan dahsyat sehingga perlu diwaspadai. Letusan Raung pada 1953 menyebarkan hujan abu dalam radius 200 km. Raung juga melontarkan material berupa pasir dan batu panas setinggi 12 km pada 1958. Untuk memperkuat pemantauan Raung, PVMBG menambah empat alat pantau, yakni dua global positioning system (GPS) dan seismobroadband.
”Debris avalanches”
Berdasarkan Data Dasar Gunung Api Indonesia (2011), Raung tercatat meletus pertama kali pada 1586. Disebutkan, letusan tahun itu sangat dahsyat dan menimbulkan korban jiwa. Namun, tidak disebutkan berapa banyak korbannya.
Pada 1638, Raung kembali meletus hebat disertai banjir besar dan aliran lahar melanda Kali Stail dan Kali Klatak. Korban jiwa mencapai ribuan orang. Saat itu, di kawasan tersebut berdiri Kerajaan Macan Putih di bawah Pangeran Tawangulun. Hingga 1989, terjadi 43 letusan di Gunung Raung.
Geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo, mengatakan, Raung memiliki jejak debris avalanches, bahaya lain dari gunung api selain awan panas dan banjir lahar hujan, sebagaimana terjadi di Gunung Galunggung, Jawa Barat. Debris avalanches merupakan produk dari longsornya sebagian tubuh gunung api, terutama karena aktivitas magmatik. Sumbat yang terlalu kuat di puncak gunung menyebabkan magma menjebol sisi lemah di lereng gunung dan melontarkan hingga jauh, membentuk sekelompok bukit kecil (hillocks).
Debris avalanches tak mesti terkait erupsi. Hujan deras atau gempa regional juga dapat memicu longsoran raksasa di lereng gunung api. ”Debris avalanches di Raung karena erupsi yang eksplosif seperti terjadi di Galunggung dan letusan St Hellen, AS, pada 1980,” kata Indyo.
Debris avalanches di Raung yang mencapai 78 km dari kawah merupakan yang terbesar di Indonesia. ”Kalau longsorannya karena hujan atau erupsi freatik, biasanya tak terlalu jauh jangkauannya, seperti Gunung Papandayan,” katanya.
Indyo juga mengatakan, Gunung Raung merupakan bagian dari sistem kaldera raksasa purba. ”Raung berada di pinggir dari sistem kaldera ini,” katanya. Selain Raung, beberapa gunung api aktif lain yang juga berada di pinggir sistem kaldera ini adalah Ijen, Merapi, dan Meranti. ”Sayangnya, pengetahuan kita tentang kawasan kaldera ini masih sedikit,” katanya. ”Namun, melihat karakter gunungnya, letusannya pada masa lalu pasti hebat.”
Mengubur peradaban
Kehebatan letusan Raung pada masa lalu dicatat oleh Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada. Menurut dia, letusan Raung pada abad ke-18 menyebabkan sisa peradaban Kerajaan Blambangan di Macan Putih, Kabupaten Banyuwangi, dan di Kedawung, Kabupaten Jember, ikut terkubur.
”Peninggalan kerajaan diperkirakan terkubur oleh abu vulkanik Raung dari dua kali letusan. Pada 2010 kami menemukan fondasi bangunan kerajaan, gerabah, tombak, keramik, uang receh, dan sebagainya, terpendam sedalam 1,5 meter di Desa Macan Putih. Hingga kini masih banyak yang belum digali,” kata penulis buku Ujung Timur Jawa: Perebutan Hegemoni Blambangan 1763-1813 itu.
Di antara deretan gunung yang mengelilingi Banyuwangi, yakni Ijen, Merapi, Meranti, dan Raung, Gunung Raung merupakan gunung yang paling dianggap sakral oleh masyarakat Banyuwangi pada masa lalu, dibandingkan Ijen, Merapi, dan Meranti.
Menurut Margana, para penguasa di kerajaan pra-Kerajaan Blambangan sudah menjadikan Gunung Raung sebagai pusat pemujaan. Salah satu indikasinya, ditemukan sejumlah peninggalan tempat persembahyangan umat Hindu yang diperkirakan dibangun pada abad ke-17 hingga abad ke-18. Di antaranya ada di Kecamatan Songgon dan Sempu, Banyuwangi.
Petilasan di Desa Jambewangi, Kecamatan Banyuwangi, misalnya, hingga kini masih ada dan dirawat oleh warga setempat. Petilasan itu berbentuk tumpukan batu dan berlingga menghadap ke Gunung Raung. Petilasan tersebut kini masih digunakan oleh warga Hindu untuk bersembahyang.
Ingatan yang terputus
Riwayat mengerikan Raung pada masa lalu tidak lagi dimengerti secara utuh oleh warga yang hidup di kaki gunung ini. Warga di Kecamatan Songgon, Banyuwangi, yang berada 14 km dari Gunung Raung memang resah karena mencium bau belerang dan mendengar suara gemuruh dari Raung sejak beberapa hari terakhir.
Rosan (56), warga Desa Jajangan, Kecamatan Songgon, mengepak sebagian pakaiannya sejak pekan lalu. Proses belajar-mengajar di SD di Kecamatan Songgon pun terganggu karena orangtua khawatir melepas anak-anak mereka ke sekolah.
Meski khawatir, sebagian besar warga masih bekerja di ladang. Sebagian dari mereka memetik selada, mencari rumput, kayu bakar, atau memanen cengkeh. Warga saat ini tidak mewarisi ingatan Raung yang mematikan, tetapi jejak Raung yang mematikan tidak boleh diabaikan.
Sumber : Kompas.com
Kabar Gunung Raung Meletus
Reviewed by admin
on
15.44
Rating:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar